Daftar Isi [Tampil]
“Kau marah padaku?”“Kenapa?” heran kutatap wajahnya.“Karena aku selalu membuatmu menangis,” ucapnya.“Aku lebih marah padamu, jika tidak bisa membuatku kembali tersenyum saat tangisku reda.”23 Mei 2012
Kalimat di atas adalah secuil curhatan yang pernah saya tulis di facebook Mei 2012. Masih ada kok jejaknya, kalau memang mau ngeceknya langsung. Curhatan itu entah kenapa terasa begitu menohok di hati. Dulu, sebahagia itu saya menulis. Se-enjoy itu, se-selow itu, dan se-nikmat itu.
Kenyataannya, bertahun-tahun silam rasa enjoy dan senang itu datang silih berganti. Tidak jarang, menulis jadi begitu menyiksa dan terasa terpaksa, saat sedang tidak ada ide ataupun kalimat-kalimat yang bisa dituangkan. Tidak jarang, menulis jadi semacam beban saat sudah bertemu dengan target yang harus dipenuhi. Nyatanya, menulis tidak selalu jadi obat kok. Tapi anehnya, saya kok ya tetap balik nulis lagi ya.
Bahagia dulu Sebelum Menulis
Sama seperti hal lainnya, sebelum melakukan sesuatu, memang harus bahagia dulu. Dengan bahagia, maka yang perlu dilakukan akan bisa dilakukan dengan enjoy. Syukur-syukur lancar dan hasilnya sesuai keinginan. Bahkan meski yang dituliskan adalah hal sedih, penulis harus bahagia dulu. Bukan soal apa yang dituliskan. Tapi tentang kemauan untuk menulis.
1. Lakukan dengan Bahagia
Bagi orang yang memiliki passion menulis, punya pekerjaan menulis tentu jadi impian. Membayangkan saat bisa membaca lalu menulis apa saja, tentu menyenangkan. Tapi, kenyataan tidak selalu demikian.
Pada saat sudah menjadi pekerjaan, ada saatnya muncul rasa bosan, enggan, lelah, kehilangan semangat, ide bahkan keinginan menulis itu sendiri. Hei, itu wajar kok! Jadi, tidak masalah jika semua perasaan itu muncul. Tidak perlu lah merasa rendah diri hingga menyalahkan diri sendiri.
Lalu, harus bagaimana? Bahagiakan diri sendiri dulu lah. Berhenti menulis lalu cari cara untuk bahagia. Lalu setelah itu, bisa kembali menulis lagi. Pekerjaan apapun itu, jika dilakukan dengan bahagia tentu akan menghasilkan hal baik.
Baca juga Godaan Penulis Menyelesaikan Naskah
2. Jadi Pencuri atau Terinspirasi?
Pernahkah membaca sesuatu lalu timbul keinginan menulis? Kadang bahkan apa yang dituliskan mirip dengan apa yang baru saja dibaca atau dilihat. Jadi, yang seperti ini pencuri atau terinspirasi?
Tidak ada yang salah dengan melihat dan membaca karya orang lain. Tidak perlu merasa takut kalau terpengaruh oleh gaya mereka. Itulah proses belajar. Karena nantinya, akan ada waktunya tiap penuli memiliki gaya menulisnya sendiri. Dan pada saat itu terjadi, membaca atau menikmati karya apapun, tidak akan mengubah gaya menulisnya.
Kalau mencuri ide? Ide di dunia kepenulisan sebenrnya hanya ‘itu-itu’ saja. Akan selalu ada perulangan ide yang sama pada waktu berbeda dan oleh penulis berbeda. Tapi, yang membedakan adalah bagaimana mengemas ide itu menjadi tulisan. Bagaimana membuatkan baju bagi ide itu, dan bagaimana mengembangkan ide itu menjadi lebih berwarna dan berbeda. Pada akhirnya, bukan soal mencuri ide, tapi soal bagaimana ide itu menjadi sumber inspirasi yang baru dan berbeda.
Jadi, lebih baik jadi pencuri atau terinpirasi?
Baca juga Pelatihan Penulis Buku Sabugunas
3. Pembelajar Sepanjang Masa
Penulis itu pembelajar sepanjang masa. Belajar pada siapa saja, di mana saja, bahkan dari sumber apa saja. Mindset ini yang harus dipegang oleh penulis.
Kalau tidak seperti ini, apa yang akan terjadi? Ide yang ada hanya itu-itu saja. Teknik menulis hanya mengulang yang lama dan karya jadi tidak menarik pembaca. Memang perlu hati yang luas dan lapang untuk belajar lagi. Butuh kepala dingin dan mau mengosongkan pikiran sebelum memulai belajr hal baru. Dan memang, penulis itu wajib jadi pembelajar sepanjang masa.
4. Kejar Sepuluh Ribu Jam
Seorang kawan pernah bertanya pada saya, apakah saya sudah menghabiskan sepuluh ribu jam untuk menulis. Saya terdiam dengan pertanyaan ini. Memangnya sudah berapa lama saya menulis? Dan apa saja yang selama ini saya tulis? Pada akhirnya saya berhenti mencari tahu soal berapa lama saya menulis. Karena memang bukan itu yang perlu dilakukan.
Kemampuan seorang penulis, sebagian disumbang dari berapa lama ia mengasah kemampuan menulis serta pengalamannya menulis. Caranya? Ya dengan menulis. Tidak salah memberikan target pada diri sendiri untuk mencapai sepuluh ribu jam. Tentu berbeda hasilnya, penulis yang sudah mengasah kemampuannya hingga melebihi sepuluh ribu jam dengan penulis pemula. Tapi, semua orang bisa belajar kok.
Jadi, bisa dong membuat target bagi diri sendiri untuk mengejar menulis selama sepuluh ribu jam?
Baca juga Sertifikasi Penulis Non-Fiksi
5. Wajib Menginspirasi? Nanti dulu Deh!
Saya pernah membaca review film, yang mengatakan kalau ‘wah filmnya ini tidak ada hikmahnya, tidak menginspirasi’. Hal ini ternyata tidak jauh berbeda dengan karya berupa buku. Apakah semua penulis dituntut untuk selalu menginspirasi dalam tiap karyanya? Jawabannya, tidak selalu.
Idealnya, tiap karya memiliki nilai kebaikan hingga akhirnya menginspirasi yang menikmati karya tersebut. Tetapi, ada juga kok karya yang dibuat dengan tujuan menghibur semata. Apakah yang sekadar menghibur kemudian dikatakan jelek? Kan juga tidak. Hanya beda cara dan tujuan yang akan dicapai saja.
Bahkan ketika sebuah karya, buku misalnya, hanya memberikan hiburan semata, tidak masalah. Apalagi kalau si pembacanya merasa terhibur dan bahagia setelah membaca buku itu. Jadi, sebagai penulis, tidak perlulah terbebani bahwa semua buku wajib menginspirasi. Eits, tapi bukan berarti keluar dari adab juga ya. Tidak menginspirasi, bukan berarti ‘boleh’ menyebarkan hal buruk. Kalau ini sih wajib dihindari.
Kesimpulan
Menjadi penulis yang bahagia itu pilihan. Jika memilih untuk bahagia, ya akan bahagia. Yang jelas, apapun yang dilakukan sekarang, lakukan dengan senang dan bahagia.
Kalau buat aku, bahagia dalam menulis adalah menulis untuk diri sendiri. Karena kalau orientasinya sudah menulis untuk pekerjaan ataupun mengejar pundi - pundi uang, menulis jadi tidak sebahagia itu.
BalasHapus- Dari orang yang jarang nulis.
tapi tulisan2mu masih ditunggu lho, jgn ngilang lagi
Hapus