Daftar Isi [Tampil]
“Brengsek!” umpat bocah berambut cepak, berkaos biru lusuh itu sambil melangkah pincang di antara kerumuan orang yang berlalu lalang di keramaian.
Sandal lusuh yang sudah tidak penuh itu kembali lepas talinya. Setelah berhasil menembus lalu lalang orang yang lewat, bocah berambut cepak itu duduk di sudut stasiun setelah menenteng sandal bututnya dengan pincang. Sambil duduk, ia memaksakan tali sandal itu untuk kembali masuk ke lobangnya. Tapi jelas, itu sia-sia saja. Lobangnya sudah terlanjur menganga besar, dan memaksanya kembali terpasang adalah harapan kosong di siang yang terik.
Sandal lusuh yang sudah tidak penuh itu kembali lepas talinya. Setelah berhasil menembus lalu lalang orang yang lewat, bocah berambut cepak itu duduk di sudut stasiun setelah menenteng sandal bututnya dengan pincang. Sambil duduk, ia memaksakan tali sandal itu untuk kembali masuk ke lobangnya. Tapi jelas, itu sia-sia saja. Lobangnya sudah terlanjur menganga besar, dan memaksanya kembali terpasang adalah harapan kosong di siang yang terik.
sepatu hitam. gambar : brilio.net |
Sepatu Hitam
Nyaris menyerah, mata bocah berambut cepat itu beralih pada sepasang hitam mengkilap yang menarik perhatiannya di antara lalu lalang orang-orang yang lewat. Berkali, pemiliknya mengusap benda mengkilap berjumlah sepasang itu, memastikan benda itu tetap jauh dari segala macam debu dan kotoran. Ya, benda mengkilap itu adalah sepasang sepatu.
Perhatian si bocah berambut cepak kembali pada sandal lusuhnya yang sudah rusak, lalu sesaat kemudian pada sepasang sepatu mengkilap di depannya. Raut wajahnya berubah-ubah, antara senang sekaligus sedih. Dan senyum canggungnya menertawakan jeda yang besar andara sandal bututnya dengan sepatu mengkilap itu.
Suara lonceng tanda keberangkatan kereta membuyarkan angan si bocah berambut cepak. Pelannya laju orang-orang yang lewat berubah cepat dan berisik. Mereka berebut memaksakan tubuh mereka untuk bisa masuk ke badan kereta yang nyaris berangkat.
Tapi, si pemilik sepatu mengkilap masih sibuk dengan sepatunya. Langkahnya tidak mampu mengimbangi riuhnya kerumunan orang-orang yang berebut posisi untuk masuk ke dalam kereta. Hingga akhirnya, tubuh mungil pemilik sepatu hitam mengkilap tak berhasil menyelamatkan sepatunya dari keramaian. Salah satunya tergeletak begitu saja di atas kerasnya lantai peron stasiun.
Bocah berambut cepak tersenyum girang. Segera didekatinya sepatu hitam mengkilap itu dengan sumringah. Sesaat, tangannya merasakan lembutnya permukaan sepatu mengkilap itu. Tapi, raut wajahnya berubah sebentar. Ia tahu benar, bukan itu yang harusnya ia lakukan.
Tanpa pikir panjang, bocah berambut cepak mengejar kereta yang perlahan sudah melaju. Tangannya terulur ingin memberikan sebelah sepatu pada pemilik sepatu aslinya. Tapi, langkah kecilnya tetap saja tidak mampu mengimbangi kereta yang makin melaju. Nafasnya yang makin tersengal akhirnya membuatnya melakukan usaha terakhir, melemparkan sepatu itu ke arah kereta. Sayangnya, tenaga mungilnya tidak mampu membawakan pesan kebaikan pada si pemilik sepatu hitam.
Tidak ada yang bisa dilakukan bocah berambut cepak itu lagi. Hingga akhirnya, sebuah senyum terukir di wajah si pemilik sepatu hitam. Tangannya terulur melepas sebelah sepatu yang masih menempel di kakinya. Ia melemparkan sebelah sepatunya ke arah bocah berambut cepak yang hanya bisa memandang dengan takjub.
Sepasang sepatu hitam mengkilap, menjadi bukti bahwa kebaikan tidak butuh banyak kekata. Itu saja.
Perhatian si bocah berambut cepak kembali pada sandal lusuhnya yang sudah rusak, lalu sesaat kemudian pada sepasang sepatu mengkilap di depannya. Raut wajahnya berubah-ubah, antara senang sekaligus sedih. Dan senyum canggungnya menertawakan jeda yang besar andara sandal bututnya dengan sepatu mengkilap itu.
Suara lonceng tanda keberangkatan kereta membuyarkan angan si bocah berambut cepak. Pelannya laju orang-orang yang lewat berubah cepat dan berisik. Mereka berebut memaksakan tubuh mereka untuk bisa masuk ke badan kereta yang nyaris berangkat.
Tapi, si pemilik sepatu mengkilap masih sibuk dengan sepatunya. Langkahnya tidak mampu mengimbangi riuhnya kerumunan orang-orang yang berebut posisi untuk masuk ke dalam kereta. Hingga akhirnya, tubuh mungil pemilik sepatu hitam mengkilap tak berhasil menyelamatkan sepatunya dari keramaian. Salah satunya tergeletak begitu saja di atas kerasnya lantai peron stasiun.
Bocah berambut cepak tersenyum girang. Segera didekatinya sepatu hitam mengkilap itu dengan sumringah. Sesaat, tangannya merasakan lembutnya permukaan sepatu mengkilap itu. Tapi, raut wajahnya berubah sebentar. Ia tahu benar, bukan itu yang harusnya ia lakukan.
Tanpa pikir panjang, bocah berambut cepak mengejar kereta yang perlahan sudah melaju. Tangannya terulur ingin memberikan sebelah sepatu pada pemilik sepatu aslinya. Tapi, langkah kecilnya tetap saja tidak mampu mengimbangi kereta yang makin melaju. Nafasnya yang makin tersengal akhirnya membuatnya melakukan usaha terakhir, melemparkan sepatu itu ke arah kereta. Sayangnya, tenaga mungilnya tidak mampu membawakan pesan kebaikan pada si pemilik sepatu hitam.
Tidak ada yang bisa dilakukan bocah berambut cepak itu lagi. Hingga akhirnya, sebuah senyum terukir di wajah si pemilik sepatu hitam. Tangannya terulur melepas sebelah sepatu yang masih menempel di kakinya. Ia melemparkan sebelah sepatunya ke arah bocah berambut cepak yang hanya bisa memandang dengan takjub.
Sepasang sepatu hitam mengkilap, menjadi bukti bahwa kebaikan tidak butuh banyak kekata. Itu saja.
Tidak ada komentar:
Terima kasih telah berkunjung dan meninggalkan jejak di Blognya Bening Pertiwi. Mudah-mudahan postingan saya bisa bermanfaat dan menginspirasi kamu :)
Note :
Maaf komen yang brokenlink akan saya hapus jadi pastikan komentar kamu tidak meninggalkan brokenlink ya.